Kamis, 30 April 2009

Politisi (Enggan) Berkarya

Toto Suparto

Aristoteles pernah mengingatkan, aktif dalam berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis.

Padanan ”perbudakan biologis” adalah mazhab Cyrenaik yang menempatkan ”kesenangan tubuh lebih baik daripada kesenangan jiwa”. Lalu, tubuh dimanjakan dengan materi sehingga menimbulkan kesan, urusan perut adalah segalanya.

Ketika politisi diperbudak proses biologis, aktivitas politik jadi mata pencarian. Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok ukur. Mereka berpendapat, adalah politisi tolol jika tak mendapat keuntungan duniawi.

Celaka jika politisi menempatkan politik sebagai pekerjaan. Filsuf Hannah Arendt mengingatkan, jika politik dianggap pekerjaan, urusan orang banyak akan terabaikan. Kata Arendt, kegiatan politik bukan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas. Kita tak melihat kesenangan biologis sebagai prinsip berpolitik secara benar.

Milik filsuf

Di mata politisi kita, konsepsi itu hanya milik filsuf. Mereka beranggapan, bukan zamannya politisi tak memikirkan urusan perut. Anggapan yang tak keliru sepanjang bisa menempatkannya secara proporsional. Artinya, urusan rakyat juga diperhatikan. Ada perimbangan saat menikmati fasilitas negara dan seberapa besar kontribusi yang diberikan bagi kesejahteraan rakyat. Tetapi, saat urusan perut menjadi segalanya, kontribusi itu mengecil. Dalam kondisi beginilah kita patut memprihatinkan perilaku politisi itu.

Perilaku memprihatinkan kian nyata saat pemilu. Kita dibuat kian yakin bahwa politisi nyaris mengejar kekuasaan demi kenikmatan biologis. Rakyat lalu dibuat bingung atas perilaku politisi. Elite politik memperagakan perilaku ”plintat-plintut”, ésuk dhelé, soré témpé (pagi kedelai, sore berubah menjadi tempe), ungkapan yang menggambarkan inkonsistensi seseorang. Awal pekan dinyatakan koalisi didasari idealisme, akhir pekan dikedepankan pragmatisme. Maka, omong kosong jika koalisi demi kepentingan rakyat. Pragmatisme koalisi adalah keuntungan sesaat, cuma mengalkulasi kekuasaan.

Akhirnya, perilaku politisi tak lagi merakyat. Di sini makna merakyat adalah mengembalikan kekuasaan yang diperoleh politisi untuk kepentingan rakyat. Caranya, mereka memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai dengan perannya. Para wakil rakyat selayaknya ingat, mereka meraih kursi legislatif karena suara rakyat. Dari calon anggota legislatif, mereka dipercaya mewakili aneka kepentingan rakyat di DPR.

Sesuai dengan konsep filsuf John Locke, memperjuangkan kepentingan rakyat adalah bagaimana menjalankan fungsi legislator sebagaimana mestinya. Menurut Locke, kekuasaan pembuat undang-undang adalah kekuasaan bersama tiap anggota masyarakat yang diberikan kepada orang atau majelis pembuat undang-undang (legislator), yang kemudian diberikan kembali kepada rakyat.

Demi kekuasaan, para politisi berseteru secara terbuka, saling serang, seolah rakyat tak pernah ada. Mereka lupa, tiap persete- ruan, apalagi jika disertai ancaman, membuat rakyat miris dan khawatir. Padahal, rakyat menginginkan kedamaian, sementara elite politik menjauhkan kedamaian dengan aneka pernyataan. Maka, omong kosong ji- ka segala pernyataan politik demi rakyat; ujung-ujungnya memuluskan jalan kekuasaan mereka.

Maka, saat Arendt menyatakan kegiatan politik bukan pekerjaan, para elite politik pasti mencibir, konsep itu cocok di awang- awang, bukan dunia nyata.

Semestinya berkarya

Meski dianggap cocok di awang-awang, filsafat politik Arendt tetap dijadikan landasan untuk bahan renungan politisi kita. Kata Arendt, politik merupakan wahana untuk berkarya, bukan bekerja. Apa beda kerja dan karya ini?

Arendt menyatakan, kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup. Bagai binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan dasariah untuk hidup. Atas dasar ini manusia disebut binatang yang bekerja (animal laborans). Penyebutan Arendt ini kian menjelaskan makna kerja baginya, yaitu ”hanya menghasilkan barang yang habis dikonsumsi”. Ia ingin menegaskan, kerja tidak terlalu peduli akan kehadiran orang lain karena perhatian fokus pada proses biologis tubuh manusia. Memang kehadiran orang lain membuat pekerja bisa hidup, tetapi kehadiran itu sendiri bukan ciri khas pluralitas.

Apa yang membedakan dengan karya? Arendt menegaskan, karyalah yang membuat manusia berbeda dari binatang sehingga ia menyebutnya manusia yang mencipta. Melalui karya, seseorang menghasilkan obyek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari ketertundukan binatang. Maksudnya, homo faber menghadirkan ukuran kegunaan. Di sini karya membutuhkan kehadiran orang lain sebagai ”tempat pengakuan atas nilai dan prestasi”. Filsafat Arendt memperjelas, buat apa aktivitas politik itu? Politik itu buat berkarya agar kehadirannya bermanfaat bagi orang banyak.

Paparan Arendt membuat kita tahu, politisi di negeri ini lebih kepada animal laborans ketimbang homo faber. Wajar jika urusan rakyat dibelakangkan. Politisi kita yang seharusnya berkarya ternyata enggan berkarya. Maka, kembali kepada kita untuk kembali menyikapi semua ini.

Toto Suparto Pengkaji Etika di Puskab Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog