Minggu, 26 April 2009

Pembagian Kursi dan Penetapan Calon Terpilih DPR

OLEH Ramlan Surbakti

Komisi Pemilihan Umum sudah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur tiga hal, yaitu tata cara pembagian kursi DPR, DPD, dan DPRD di setiap daerah pemilihan kepada peserta pemilu; tata cara penetapan calon terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan tata cara penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Tulisan berikut ini hanya akan membahas pengaturan untuk DPR saja karena lebih rumit daripada pengaturan untuk DPD dan DPRD. Sekurang-kurangnya lima catatan yang dapat diberitakan terhadap peraturan KPU tersebut.

Pertama, peraturan ini tidak hanya cacat secara konstitusional, tetapi juga cacat dari segi pertimbangan hukum. Disebut cacat dari secara konstitusional karena KPU mengatur substansi undang-undang, yaitu mengatur tata cara penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPRD sebagai pengganti Pasal 214 UU No 10/2008 yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan UUD 1945, DPR dan Presiden-lah yang berwenang membuat undang-undang, termasuk merumuskan pengganti Pasal 214 yang oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD.

Karena Amar Putusan MK tersebut hanya berisi pernyataan Pasal 214 UU No 10/ 2008 tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945, dan sama sekali tidak berisi pernyataan tentang suara terbanyak, tampaknya KPU melakukan penafsiran terhadap pertimbangan hukum MK mengenai penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

KPU menafsirkan suara terbanyak versi pertimbangan hukum MK sebagai penetapan calon terpilih ”didasarkan atas peringkat suara sah terbanyak pertama, kedua, ketiga. dan seterusnya....”

Independensi KPU akan terancam apabila melakukan penafsiran hukum yang niscaya akan menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian parpol peserta pemilu lainnya.

Peraturan KPU ini dipandang cacat dari segi pertimbangan hukum karena tampaknya KPU lalai dalam menempatkan Pasal 215 UU No 10/ 2008 dalam Menimbang huruf d. Kalau Pasal ini tidak ditempatkan dalam pertimbangan hukum, atas dasar apa KPU merumuskan tata cara penetapan calon terpilih anggota DPD dan penetapan calon pengganti antarwaktu anggota DPD sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 59 Peraturan KPU tersebut?

Kalau betul KPU menggunakan Amar Putusan MK sebagai dasar hukum menetapkan rumusan pengganti Pasal 214, seharusnya Amar Putusan MK tersebut ditempatkan dalam Menimbang huruf d. Akan tetapi, dalam Peraturan KPU tersebut, KPU menempatkan Amar Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 24 Desember 2008 tidak dalam Menimbang, melainkan dalam Memerhatikan sejajar dengan Surat MK Nomor 122/HP.00.00/I/2009 tanggal 23 Januari 2009.

Mungkin KPU menyadari bahwa amar putusan MK mengenai pengujian undang-undang tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan.

Pembagian kursi

Kedua, pembagian kursi DPR dan DPRD kepada Partai Politik Peserta Pemilu dengan undian merupakan penghinaan terhadap kedaulatan rakyat karena pembagian kursi tidak didasarkan pada suara rakyat, melainkan atas dasar keberuntungan dan merupakan pengingkaran terhadap pemilihan umum sebagai proses konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara karena pembagian kursi tidak didasarkan pada suara pemilih melainkan pada nasib alias hasil ”judi”. Pembagian kursi DPR dan DPRD haruslah konsisten berdasarkan suara pemilih, termasuk sebaran dukungan menurut wilayah.

Tata cara

Ketiga, rumusan pengganti ketentuan Pasal 214 mengenai tata cara penetapan calon terpilih yang diadopsi KPU sebagai hasil penafsiran terhadap pertimbangan hukum MK ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 55 Ayat 1 UU No 10/2008.

Kalau susunan nama calon ditetapkan berdasarkan nomor urut, calon terpilih harus pula ditetapkan berdasarkan nomor urut. Akan tetapi, dalam Peraturan KPU tersebut penetapan calon terpilih dilaksanakan berdasarkan peringkat suara sah terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.

Ketentuan lain yang tidak konsisten dengan Pasal 55 Ayat 1 UU Pemilu adalah Pasal 50 Peraturan KPU tersebut. Apabila partai politik memperoleh sejumlah kursi tetapi tidak ada nama calon yang memperoleh suara sah di dapil tersebut, penetapan calon terpilih diusulkan oleh pimpinan partai politik peserta pemilu dari DCT Dapil yang bersangkutan untuk ditetapkan oleh KPU.

Penetapan calon terpilih dalam situasi seperti ini seharusnya tidak diserahkan kepada pimpinan partai politik, melainkan didasarkan pada nomor urut calon karena secara institusional nomor urut calon adalah urutan nama calon terbaik berdasarkan keputusan partai politik.

Keempat, tidak seperti UU No 12/2003 yang mendefinisikan secara operasional apa itu sisa suara, UU No 10/2008 sama sekali tidak mendefinisikan apa saja yang termasuk sisa suara. UU No 12/ 2003 dengan jelas mendefinisikan operasional apa saja yang termasuk kategori sisa suara, yaitu baik berupa jumlah suara sah yang tertinggal setelah memperoleh satu atau lebih kursi maupun jumlah suara sah yang tidak mencapai BPP.

Karena itu, dalam peraturan tersebut, KPU sekali lagi melakukan penafsiran hukum dengan merujuk pada definisi sisa suara yang dirumuskan dalam UU No 12/2003. Definisi sisa suara macam apakah yang digunakan, apakah dalam arti yang sesungguhnya (jumlah suara yang tertinggal setelah dibagi dengan BPP) ataukah dalam arti luas (jumlah suara di bawah BPP), jelas akan menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian parpol peserta pemilu lain.

Definisi seperti ini seharusnya diputuskan DPR dan Presiden yang memang mendapat mandat dari rakyat melalui pemilihan umum untuk membuat undang-undang.

Kelima, tata cara penetapan calon terpilih khusus untuk partai politik yang tidak lagi memiliki calon di suatu daerah pemilihan tidak hanya terlalu rumit karena harus mengukur panjang perbatasan suatu dapil dengan dapil terdekat secara geografis apabila terdapat dua atau lebih dapil yang berbatasan, tetapi juga tidak masuk akal karena kursi diberikan kepada calon berdasarkan suara terbanyak di dapil tetangga.

Apabila terdapat dua atau lebih dapil yang berbatasan dengan dapil yang memiliki kursi tetapi tidak lagi tersedia calon untuk mengisinya, penentuan dapil mana yang akan memperoleh kursi tersebut cukup diserahkan kepada partai politik pemilik kursi tersebut.

Siapa calon yang akan mengisi kursi partai tersebut juga lebih tepat diserahkan kepada partai politik pemilik kursi daripada berdasarkan suara terbanyak karena calon terpilih itu tidak akan mewakili ”suara terbanyak” di dapil tetangga tersebut. Pengambilan keputusan untuk situasi khusus seperti ini lebih tepat diserahkan kepada partai politik sebagai peserta pemilu.

Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik, FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog